TWO PEOPLE
a fiction by mintulli 

Mina (Twice) and Wonwoo (SVT)

AU, romance, hurt, slice of life, drama, sad

Oneshoot | PG-15

[Recomended song : Davichi -This Love]

 Karena hanya dengan itu bisa membuatku merasa senang dan terlihat baik.

 

 

 

 

 

Ini sudah yang kesekian kalinya aku pergi meninggalkan cafe ini sembari mengangkat sempurna kedua sudut bibirku. Juga bersamaan dengan perasaan hati yang tak sesuai dengan keadaan fisikku sekarang. Terlihat baik-baik saja di depan, hanya kelihatannya saja.

Aku itu gadis yang penurut. Yang selalu mendengarkan dan melakukan perintah orang tua, entah baik atau buruk di akhirnya. Aku tidak tau pasti tentang diriku. Dalam artian fisik, tidak seratus persen aku benar-benar bisa mengenali diriku sendiri. Aneh? Begitulah, aku tak pernah paham dengan siapa itu aku sebenarnya.

Apa aku cantik?

Apa aku manis saat tersenyum?

Apa aku terlihat biasa saja? Atau….

Apa memang aku yang tak pernah memperhatikan diriku?

 

Melihat aku yang tak pernah menggandeng seorang pria, banyak orang begitu bersua ria. Lebih-lebih orang tua ku. Sebulan ini mereka mempertemukanku dengan empat laki-laki yang berbeda. Ku pikir ini yang terakhir, tapi tetap saja akhirnya aku harus keluar dari tempat kami bertemu, dan memasang senyum palsuku saat menyadari bahwa laki-laki itu mengakhiri dengan kata yang sama,

“Maaf.. tapi aku tidak bisa.”

Jika memang pada akhirnya tidak, untuk apa mereka memulai untuk bersamaku? Tidak enak hati dengan orang tua ku?

Kemungkinan terburuk dibanding dengan mencoba mengenalku lebih dalam. Ya, hanya mengenal. Lalu mundur setelah tau kenyataannya tentangku. Semakin dalam, semakin membuat mereka angkat tangan. Benar begitu, setidaknya aku jadi tau mana laki-laki yang akan benar-benar denganku.

 

Aku memang bukan gadis yang periang. Gadis yang menarik, mengagumkan, atau.. meluluhkan. Aku hanya mencoba menjadi diriku sendiri.

Karena aku.

Semua karena aku.

Apa yang ada padaku karena aku. Bahkan dengan usaha dan doaku pun juga tidak benar-benar berhasil. Mungkin Tuhan menginginkanku dijalan yang lain. Tidak bersama dia. Atau mungkin menginginkanku untuk tetap menjadi diriku sendiri. Yang hanya dengan melihat sorot mataku, orang akan tahu bahwa bagaimana pun aku seperti tak ditakdirkan ‘bahagia’.

 

 

Dan untuk itu aku selalu pergi ke tempat yang menggambarkan tentang diriku. Aku suka pergi ke tempat yang ramai –untuk memulihkan sesuatu yang ku rasa membuat semua keadaan salah, agar aku setidaknya merasa bisa menjadi gadis yang merasakan hidup.

Tapi untuk kali ini, aku berubah pikiran. Sesuatu tempat yang tenang dan nyaman. Banyak sesuatu di benakku yang sedang beradu sampai rasanya untuk bernafas, paling tidak aku harus belajar dalam beberapa kali hirup agar terbiasa. Sungguh berat. Hingga rasa-rasanya aku serupa mayat hidup.

 

Aku terus saja berjalan. Mungkin kali ini kakiku sedang memiliki koneksi yang baik dengan suasana hatiku. Dalam suasana seperti ini aku merasa tidak seperti diriku. Mendadak tuli juga buta, juga berjalan diam dan tak menghiraukan apapun. Suasana hati ternyata bisa berubah drastis, tapi ini sudah biasa. Sudah yang kesekian kalinya kan?

 

Yang membuatku sedikit tercengang, seperti ada sesuatu yang menuntunku ke tempat yang seharusnya. Menghirup udara pantai memang tempat yang tepat untuk seseorang yang mencari ketenangan. Beruntung cafe tadi tak jauh dari pantai ini. Tak butuh waktu lama untuk menetralisir suasana hati dan pikiran yang ‘masih’ saja berantakan.

 

Aku lalu duduk. Menikmati lembutnya pasir yang menyentuh telapak kakiku yang sudah telanjang. Merasakan tenangnya gelombang udara yang masuk dengan lembutnya ke hidungku, hingga aku benar-benar menyerapnya dalam memori otakku. Mengingat hal-hal yang begitu menyenangkan ini, ada dampaknya juga. Paling tidak jika aku sedang merasa buruk lagi, hanya dengan mengingat ini lantas semuanya akan membaik, kuharap.

 

Aku tahu ada seseorang yang sedang mengamatiku. Aku bukan bagian dari mata-mata yang tau gerak-gerik orang. Hanya perasaanku saja. Tapi memang benar adanya. Dia lalu duduk berdampingan denganku.

“Sedang apa?”

 

Oh. Ternyata dia. Salah satu teman baikku. Kami baru saling mengenal beberapa waktu silam. Dan dia memang orang yang baik. Aku suka.

“Aku? Sedang sedih.”

 

“Kau bisa sedih? Aneh.”

Bibirku tersungging begitu saja. Dia mengataiku seperti itu, jujur membuatku sedikit lebih baik. Setidaknya dia menemuiku memang untuk membuatku terlihat lebih baik. Semoga begitu.

“Sedih kenapa bocah jelek?”

 

“Karena sedih. Sedang ingin sedih saja.”

Dan aku berharap kau menghiburku. Bahkan jika kau tetap memanggilku bocah jelek.

 

“Kau suka soju? Aku selalu minum soju saat sedih. Jika kau mau, aku akan membawakan satu bak penuh untukmu.”

 

“Satu bak? Lima botol mungkin cukup.”

Dia tertawa keras. Ya seperti ini. Membuatku merasa lebih baik walau kau yang tertawa, bukan aku. Aku senang melihatmu, lebih lebih gelak tawa itu. Senang sekali.

“Kau lucu juga ternyata!”

 

Bodoh. Aku sedang sedih. Bukan mencoba menghiburmu. Kadang aku kesal karena selalu seperti ini. Saat aku ingin kau disini, ya.. kau datang. Berharap kau menghiburku, membuatku lebih dari sekedar senang. Kenyataannya memang aku terlihat baik, tapi karena aku sendiri.

Karena aku yang akhirnya justru membuatmu senang. Karena kelakuanku sendiri yang membuatku baik, dan kau tersenyum, jauh membuatku lebih baik. Jadi, karena aku, bukan kau… Wonwoo.

Entahlah, apa memang aku yang tidak pernah bisa tersenyum karenanya. Padahal aku sangat ingin. Tapi seperti lidah yang tak penah bisa menyentuh alis. Jauh… sangat jauh. Dia pasti tidak benar-benar bisa membuatku tersenyum. Anehnya, aku bisa membuat suasana itu untuknya dengan posisi ‘tak disengaja’ sekalipun.

 

 

Saat dia merasa buruk waktu itu. Aku mencoba mendekatinya dan bertanya. Kala itu senja mulai datang. Dan sekolah basah karena tangisan awan yang hebat. Dia duduk di pinggir kolam dekat pintu gerbang. Dengan santai, aku mendekatinya.

“Kau kenapa?”

 

“Sedang tidak mood.”

“Kenapa? Ceritakan padaku. Jika kau tidak keberatan. Mungkin.. aku bisa membantu.”

Tolong.. izinkan aku sekali saja mengenalmu lebih jauh! Kau? Sudah tau banyak tentangku kan?.  Sekarang giliranku mengetahuimu.

Dan justru semuanya menjadi diam. Ah, mungkin dia tidak ingin aku membantunya, atau mengetahuinya. Aku tau, tapi setidaknya bicaralah padaku. Aku benci saat kau mendiami ku.

“Ini tentang adikku. Adik tiriku..”

 

“Adik tiri? Ini tentang keluargamu? Aku tidak memaksamu bercerita. Tidak apa-apa.”

 

“Tidak.. aku ingin kau tau. Orang pertama yang tau”

Dan disinilah aku berharap bahwa aku akan menjadi orang terpenting dalam hidupmu. Lalu kau… merubahnya dengan cepat.

 

“Entah aku bodoh atau apa. Tapi aku menyukainya. Aku suka adik tiriku sendiri.”

Ya. Kau bodoh! Kau bercerita dengan orang yang salah. Bagaimana mungkin kau berujar segamblang itu padaku?

 

“Dan dia pergi begitu saja tanpa memberitahuku.”

“Mmm.. apa dulu dia kekasihmu?”

 

“Tidak! Dia memang adik tiriku. Ayahku bertemu dengan seorang wanita dan menikahinya. Lalu aku menyukai anak wanita itu. Ya.. saudara tiriku.”

 

Aku mengerti. Mungkin rasa suka kakak pada adiknya. Wajar kan? Mungkin.

“Tapi bagaimana bisa? Perasaanmu.. pada saudara tirimu itu..?”

 

“Entahlah. Aku sudah lama mengenalnya. Mungkin lebih lama dari ayahku. Aku begitu terkejut saat tau bahwa ayahku akan menikahi ibunya dengan cepat. Aku sangat.. kesal. Kau tau.. dari awal aku memang sudah menyukainya. Melebihi perasaan kakak pada seorang adik.”

 

Oh. Melebihi rasa kakak pada seorang adik. Kupikir jika hanya perasaan sebagai saudara saja, aku akan senang. Sial! Kau memperburuk keadaan. Bodoh sekali.

“Kalau kau sudah lama mengenalnya… kenapa saat itu kau tak menyatakan perasaanmu? Dan mengenlakannya pada ayahmu?”

 

“Saat itu, dia sedang memiliki kekasih. Aku tahu posisiku. Bahkan dari awal dia mengenalku, dia sudah menganggapku sebagai kakaknya. Mengenalkan pada ayah.. aku ingin! Tapi mana mungkin aku mengenalkan padanya saat hatinya tidak untukku.”

 

Kalau begitu, bagaimana denganku? Apa aku harus melakukan peran sesuai posisiku? Tetap mendengarkanmu bercerita. Sedang saat awal mengenalmu, aku sudah suka. Bagaimana? Dan, apa mungkin juga untukku jika mengenalkankmu pada orang tua ku, tapi kau menyukai adik tirimu sendiri.

“Aku pikir dia juga menyukaiku. Tapi kenyataannya tidak sama sekali. Dia membutuhkanku sebagai seorang kakak untuknya.”

 

Bukankah memang seharusnya seperti itu hubungan kakak-adik? Walaupun ‘tiri’. Iya kan?

 

“Bahkan aku sudah menolak tiga gadis yang menyukaiku. Hanya untuk menjaga perasaanku untuknya.”

Wah! Kau bahkan tak menyadari bahwa sebenarnya kau sudah menolak gadis yang ke-empat! Tak kusangka, sebodoh itu kah kau?

 

“Benarkah? Apa kau.. tidak pernah berbicara serius dengannya? Untuk meyakinkannya?

Gadis itu.. butuh sebuah pembuktian. Kenyataan! Mungkin jika kau benar-benar berusaha untuknya, lalu dia luluh, kau juga kan yang beruntung?….

…. Aku mengerti perasaanmu. Aku juga pernah mengalami itu…”

 

Sekarang. Aku mengalaminya sekarang, saat ini.
“…Sebenarnya banyak kemungkinan. Mungkin benar saja katamu jika dia membuthkanmu hanya untuk menjadi kakaknya. Mungkin saja dia juga sama sepertimu, menjaga perasaannya untuk kekasihnya. Tak ingin mengecewakannya atau apa. Mungkin dia juga menyukaimu…”

Mungkin. Ya.. mungkin saja.

Mungkin aku berusaha membuat diriku terlihat baik-baik saja dihadapanmu. Demi harga diriku juga.

 

“..Tapi dia memilih untuk menjadi adikmu karena dia tau posisinya. Atau jika dia memang menginginkanmu untuk sekedar menjadi kakaknya. Kau hanya perlu menunggu. Jika memang dia menyayangimu sebagai kakaknya, tak semudah itu dia pergi meninggalkanmu…”

 

Dan jika kau ingin aku jujur, tak semudah ini saat berbicara seperti itu dihadapanmu. Berat, sungguh.

 

“…Saat dia kembali nanti, kau katakan kenyataannya. Beritahu dia bahwa selama ini kau berjuang untuknya. Jika kau dan dia ditakdirkan Tuhan, pasti ada jalan yang lebih indah..”

Lalu aku? Apa aku juga harus menyatakan perasaanku padamu? Bahwa aku telah berjuang untukmu. Untuk tetap disini.. mendengarkanmu. Bahkan hanya untuk tetap bertahan mengulas senyum agar membuatmu merasa tak akan terjadi hal yang lebih buruk.

“…Kalaupun tidak, pasti kau akan mendapatkan yang lebih baik. Percayalah!”

Dan aku harap, orang itu aku.

 

“Tapi… kurang bukti apa lagi? Aku sudah menyatakannya dan bahkan berjanji kalau aku akan tetap menunggunya sampai saat dia sudah tidak dengan kekasihnya. Kekasihnya bersama yang lain pun, aku selalu ada untuknya. Begitu memperhatikannya. Dia selalu saja bermesraan dengan kekasihnya, menceritakannya padaku, aku selalu sabar walaupun hatiku benar-benar sakit…”

Kita sama! Kau tau, aku juga sedang sakit sekarang! Hati kita sama, mungkinkah ini skenario indah Tuhan yang diberikan padaku karena aku sudah bertahan? Kata ibu, memang seperti itu. sesuatu yang dilakukan dengan perjuangan besar pasti akan terbayar.

 

“…empat bulan yang lalu dia memutuskan untuk tidak bersama kekasihnya lagi. Lalu setelah itu dia kembali dengan kekasihnya. Dia bahkan tak melihatku yang selalu ada untuknya!”

Ah…

Tidak!

Hati kita tidak sama!

Mungkin juga tidak berjodoh. Kau sama seperti adikmu, yang tak pernah melihatku bahwa aku selalu ada untukmu. Menyakitkan.

“Setelah itu mereka berpisah lagi. Dua hari kemudian, dia memintaku untuk bersamanya. Tapi aku menolaknya.”

 

“Hey! Kenapa?”

 

“Karena aku merasa dia mempermainkanku! Satu minggu setelah itu, dia kembali lagi dengan orang itu. Dan perkiraanku benar, dia berkata seperti itu hanya untuk candaan saja. Selama lima bulan,aku tidak bisa melepasnya, Mina..”

Apa kabar denganku yang sudah memendam rasa selama belasan tahun?

 

“…Aku tahu, aku hanya dijadikan pelampiasannya. Tapi entahlah, aku tidak bisa membencinya. Karena memang aku hanya menyukainya. Dia , dia..

dan hanya dia!”

 

Dan saat pertama kali kau mengatakan bahwa kau menyukai adikmu pun, aku juga tidak membencimu!

Satu hal yang aku tahu sekarang, mengapa kau tidak bisa benar-benar membuatku tersenyum.. Pasti karena perlakuan istimewa itu hanya kau tujukan padanya. Bukan aku.

 

“Hey! Menyebalkan! Kenapa kau begitu tulus? Haha! jika seseorang memang benar-benar menyukai orang lain, pasti buta dengan kata ‘benci’. Apalagi laki-laki sebaik dirimu..”

Juga untuk gadis sebaik diriku.

 

“…Semua itu pasti ada masanya. Lihat saja nanti! Saat dia benar-benar sadar dan tau bagaimana dia di matamu, aku yakin dia akan menyesal. Dia pasti  akan tau..”

 

Kau juga pasti akan menyesal telah bercerita ini kepada seseorang yang begitu menyukaimu. Pasti! Kau akan tau…

 

“..Dia juga pasti akan kembali, percaya padaku J”

 

Saat dia kembali itulah, aku akan pergi. Melepaskanmu. Hanya itu yang bisa kulakukan.

 

“Iya, haha aku tau! Sudahlah, lupakan saja! Aku sudah ingin melupakannya. Walaupun dulu pernah ku coba, dan gagal haha”

 

Kau mencoba membuat suasana menjadi hangat kan? Setelah semuanya terasa jauh lebih dingin dari suhu di kutub sekalipun?

Kau gagal! Ini sudah tidak lucu lagi. Semuanya sudah berbeda, karena kau sendiri!

 

“Kau hanya perlu berusaha keras! Kau kuatlah sepertiku!”

Sebenarnya tidak berusaha pun, tidak apa-apa. Lemah karenanya pun, tidak apa-apa. Karena aku sudah mencari jalan untuk pergi meninggalkanmu. Ini sudah terlalu jauh, dan aku tak mau terlalu sakit.

 

“Tapi jujur saja.. kau orang terhebat yang begitu tulus menyukai seseorang. Aku kagum mendengar itu! J”

Aku jadi ingin menjadi orang hebat juga! dan aku akan membuatmu kagum denganku!! Bersama dengan penyesalanmu.

Aku janji!

 

“Ceritaku.. seperti sebuah fillm ya?”

“Aku seperti melihat secara langsung, kau tau?”

 

“Dan akhirnya…. peterpan tak akan bisa bersatu dengan tinkerbell.”

 

Seperti dirimu?

 

Aku mengerucutkan bibirku.

 

“Tapi… bukannya peterpan akhrinya bersama wendy? Bukan dengan tinkerbell kan?”

Wendy. Aku kah wendy?

 

“Haha! tapi aku tidak dengan wendy, tidak juga dengan tinkerbell!”

Benar! Kau tidak dengan wendy, tidak dengan tinkerbell, tidak juga denganku!

 

“Kau… dengan kekasihmu nanti… benar?”

Kekasihmu?

Ayolah. Tak perlu ku perjelas lagi siapa gadis yang akan memenangkan nantinya. Dia pasti akan berjuang. Dia akan meraih mimpiya bersama gadis itu. Bukan dengan gadis seperti dirimu, Mina.

 

Lalu sudut bibirnya tertarik dengan sempurna. Dia tersenyum karena ku, aku bisa kan? Tapi dia padaku…? Ah sudahlah. Lupakan saja.

 

Tersenyumlah selagi aku masih bisa melihatmu, Wonwoo.

 

 

Karena hanya dengan itu bisa membuatku merasa senang dan terlihat baik.

 

-end-

 

 

 

HAILOOOO

Maafkan diriku yang baru membuat fic debut disini yuhuuuuu :”3

Maafkan juga telah mempertemukan mereka disini… aku nggak ngeship kok. Cuma ngerasa mereka pas aja di genre-genre cerita mellow seperti ini.

Maafkan kalo gagal yaa :”)

Review nya dibutuhkaaannn!!!! Mwaah :*

 

 

 

 

 

 

 

 

9 respons untuk ‘[Oneshot] Two People

  1. Minaaaaaa T.T
    Gak dilirik itu bikin sakiit. Iya, ‘kan? Aku sudah merasakannya kok (((anak ingusan sok dewasa)))
    Sebenarnya aku bacanya di 2 waktu. Jadi cuma ingat bagian akhirnya aja. Hehe^^

    Suka

  2. minaku sayang /nangis garem/ 😥 (apa pula)
    aaaaaa i really like the way you describe things. bagi saya yang diksinya masih level teri(?) ini keren bgt tapi ga terlalu berat jadi enak dibaca. aku juga ga ngeship mina-wonwoo (?) but your writing style pull me to go through the whole story ♡ pokoknya nice one deh :3 keep on writing~~

    Suka

    1. HUHUHU eh aduu trimakasih banyaakk /bow/ nggak laaah aku malah bawah2 nya teri /? plankton wkwkwk. ndak kok masi belajar jugaaa >< SAMA SAMA KAMYU JUGA KAK HEEHEH

      makasi review manisnya mwaaaahhh :*

      Suka

  3. Mbak Mina, Mas Wonwoo, ayo, silakan sojunya diminum dulu, kasian dari tadi sojunya didiemin aja
    ceritanya manis2 nyakitin gitu ya, dduh
    btw penyampaiannya halus, n i like it! 🙂

    Suka

Leave the Love-Signal: